Sabtu, 05 November 2011

resensi


                                                           
 Visi dalam Aksi Guru
Judul buku      : Pendidikan Karakter Di Zaman Keblinger
Pengarang       : Doni Koesmana A
Peresensi         :  Yani Andromeda
Penerbit             : Grasindo
Cetakan            : Pertama, September 2011
Tebal                 : 215 halaman
ISBN                : 9789790256897
Harga buku     : Rp 40.000,00
 
Saat sendi bangunan peradaban bangsa terancam berantakan, banyak orang berharap pendidikan dapat menjadi penyelamat. Guru kemudian menjadi aktor kunci untuk menjadi pelaksana misi penyiapan generasi bangsa yang tangguh. Lalu, bagaimana jika guru itu sendiri justru menjadi sumber masalah?
Buku yang ditulis praktisi dan pemerhati pendidikan ini memberi peta persoalan dan tawaran solusi cukup radikal untuk menguatkan kembali peran dan posisi guru. Tentu saja dalam konteks pembangunan peradaban masyarakat yang tengah terbelit dalam krisis yang kompleks dan akut. Doni Koesoema, lahir di Klaten Jawa Tengah tahun 1973 penulis buku ini, mendapat gelar Sarjana Muda Filsafat di STF Driyarkata, Jakarta kemudian, memperoleh gelar Sarjana Teologi dari Universitas Gregoriana, Roma, Italia. Penulis berhasil memperoleh gelar master pendidikan pada jurusan kurikulum dan pengajaran di Boston College Lynch School of education, Boston, MA, US. Wajar saja penulis mampu mengembangkan dan meradikalkan visi dan peran guru sebagai pelaku perubahan dan pendidik karakter. Hal tersebut terlihat  pada jejak pendidikan yang telah ditempuh  penulis lalu berkecimpung di dunia pendidikan dalam kurun waktu yang tidak sebentar.
 Guru bisa memainkan peran memperbarui tatanan sosial masyarakat. Caranya dengan memperkaya dan memperkokoh kepribadian siswa serta menanamkan kesadaran kritis. Fungsi transformatif pendidikan dimulai dengan pembentukan dan pendidikan karakter. Proses pengembangan karakter di sekolah dilakukan menyeluruh (integral) antara diskursus dengan praktik dan antara kegiatan kurikuler (akademis) dengan pergaulan sehari-hari.
Pembahasan bab yang berjudul Dunia Tunggang Langgang ini, penulis membahas mengenai kondisi guru saat ini.  Guru tampak tertinggal jauh kebelakang. Kemajuan teknologi yang ditandai dengan pesatnya informasi dibarengi dengan jungkir balik tatanan nilai sering kali membuat guru seperti hidup dalam zaman keblinger. Guru banyak tertinggal informasi, adakalanya murid lebih pintar daripada guru.
Pembahasan pada bab pertama penulis terkesan memojokkan posisi guru. Penulis terlalu menganggap bahwa guru merupakan seorang manusia yang gagap teknologi hingga tidak dapat mengikuti perkembangan zaman. Kenyataan yang demikian sangat tidak sesuai dengan kondisi yang ada. Saat ini sudah banyak guru yang mahir dalam pemakaian teknologi baik dalam kehidupannya maupun dalam menjalankan profesinya sebagai pendidik.
Setelah membahas bab Dunia Tunggang Langgang, pada bab kedua penulis membahas Jungkir Balik Tatanan Nilai. Pada bab ini dibahas kondisi guru seperti dipaksa memasuki sebuah dinamika kerja yang berada jauh di luar kemampuan dan kompetensinya. Namun, guru tidak boleh keblinger dalam arus ini, sebab dia adalah pelaku perubahan dan pendidik karakter yang menjadi pandu bagi perubahan tatanan masyarakat yang lebih baik.
Pada pembahasan bab yang berjudul Jungkir Balik Tatanan Nilai, sangat sesuai dengan kondisi pendidikan saat ini yang dapat dikatakan sebagai zaman keblinger. Penulis membongkar habis realitas yang dialami guru. hal ini tercakup dalam sub-sub bab yaitu kekaburan visi, rujukan kebenaran pengetahuan, dan berubah itu tidak mudah.
Pembahasan bab ketiga yang diberi judul Jasamu Kami Tunggu. Penulis menguraikan bahwa agar tidak keblinger arus waktu, guru mesti menyadari bahwa di luar sana ada banyak orang yang mengharapkan kehadirannya, sebab kehadiran guru sangat diperlukan. Negara sebagai lembaga politik dalam masyarakat membutuhkan kehadiran guru untuk menjaga eksistensinya. Oleh karenaitu, negara mengatur siapa saja yang boleh masuk kelas mengajar siswa. Selain negara, masyarakat pun juga ingin agar hanya para guru yang baik dan kompeten saja yang mengajar anak-anak mereka di kelas. Banyak lembaga memengaruhidan menaruh harapan besar dalam diri guru. mereka seperti menantikan pemenuhan harapan akan cita-cita mereka yang mendesakkan terus harapan ini dalam diri guru, “guru jasamu kami tunggu”.
Pada ketiga ini penulis mengemukakan bahwa identitas guru ditentukan oleh masyarakat. kondisi seperti ini membuat seorang guru harus berperilaku sempurna sehingga dihormati masyarakat. Namun, media massalah yang sering kali melecehkan seorang guru. Tampak pada iklan yang merusak citra guru. Guru selalu digambarkan sebagai seorang tokoh yang culun, kuper, dan menjadi olok-olokan murid. Melihat kondisi yang seperti ini penulis secara jelas memprotes media massa yang bertindak seperti itu.
Pembahasan bab yang berjudul Guru Juga Manusia. Pada bab ini dibahas tentang harapan besar yang diletakkan dipundak guru, baik itu oleh masyarakat maupun negara ataupun oleh lembaga lain, jika tidak dipahami secara realistis akan membuat guru justru mandul dan tidak berkembang. Harapan yang terlalu besar terhadap guru tidak jarang mengangkat setatus guru begitu tinggi sehingga sebagai guru ia tidak pernah boleh salah, tidak pernah boleh lelah, harus selalu memberi, mendidik, dan memberikan semua kebijaksanaan itu dalam diri anak didiknya. Telah terjadi mistifikasi terhadap profesi guru. Harapan terlalu tinggi seperti ini bisa membuat guru terpuruk dan malah frustasi. Padahal guru juga manusia.
Pembahasan bab keempat ini penulis terlalu membesarkan masalah. Guru seolah-olah makhluk yang berubah menjadi robot tanpa mengenal lelah. Hal seperti tidak sesuai dengan keadaan yang ada. jam kerja guru hanya setengah hari, sehingga masih ada waktu luang untuk mengurusi kepentingan dirinya dan keluarganya. Apabila pembahasan yang seperti ini dibaca calon guru, maka akan menimbulkan keraguan untuk menjadi seorang guru.
Setelah penulis membahas mengenai Guru Juga Manusia selanjutnya penulis membahas bab selanjutnya yang diberi judul Bebas Menjadi Guru. Pada bab ini dijelaskan bahwa guru tidak boleh berhenti pada mengutuki orang lain yang mengharapkan terlalu banyak dari peranannya dalam masyarakat. Tugas mulia guru hanya dapat terwujudkan bila para guru juga mendengarkan aspirasi masyarakat yang mengharapkan banyak dari status mereka sebagai guru. Untuk itu, guru mesti menemukan kebebasan dan kemerdekaannya terlebih dahulu. Tidak ada yang memaksa seseorang menjadi guru.
Penulis menyebutkan bahwa profesi guru di Indonesia tidak memberikan jaminan ekonomis dalam jangkan panjang.  Profesi sebagai guru tidak ada prospek perjalanan karir di masa depan. Pernyataan seperti ini seharusnya tidak dikemukakan oleh penulis. Sebab menjadi guru merupakan suatu panggilan untuk mendidik anak bangsa, tidak dapat dikaitkan dengan urusan finansial yang menjanjikan.
Selanjutnya penulis meguraikan lagi pemikirannya pada bab selanjutnya yang diberi judul Gramatika Perubahan. Pada bab keenam ini Kebebasan dan kemerdekaan menjadi dasar fundamental keberadaan guru sebagai pelaku perubahan dan pendidikan karakter. Agar dapat memahami bagaimana guru mengalami pertumbuhan dalam perubahan, kiranya guru sendiri mesti memahami gramatika perubahan.
Penulisan pada bab ini terdapat kesalahan terutama mengenai pengutipan. Cara menutip penulis tidak sesuai dengan kaidah mengutip yang telah ditentukan. Peletakan halamam yang dikutip terpisah dengan pengarang dan tahun terbit buku. Pengutipan seperti ini jelas tidak sesuai dengan kaidah yang ada.
Selanjutnya penulis membahas bab yang berjudul Perubahan Pendidikan. Sebuah penjelasan yang melihat lebih jauh tentang berbagai macam alasan mengapa seorang guru mau berubah atau tidak. Selain itu, guru pun mesti memiliki kejelasan tentang perubahan apa sesungguhnya yang dimaksud ketika kita berbicara tentang guru sebagai pelaku perubahan.
Pembahasan pada bab ketujuh ini sangat jauh melenceng dari topik. Topik yang tertera pada bab ini adalah objek perubahan pendidikan, namun penulis lebih banyak membahas masalah bisnis. Apabila pembaca mengikuti alur penulis tanpa melihat lagi topik yang akan dibahas maka pembaca bisa saja salah arti. Membaca bab ketujuh ini memberi kesan bahwa buku ini cenderung mengacu pada buku bisnis bukan buku pendidikan karakter seperti yang ditawarkan pengarang pada bagian sampul buku.
Pada bab yang berjudul Guru Sebagai Pelaku Perubahan dibahas bahwa  ada kesadaran guru mengenai sasaran dan objek dari pengembangan profesionalnya sebagai pendidik. Seiring dengan perubahan tatanan sosial masyarakat, peran dan tugas guru juga mengalami pergeseran. Inilah prinsip dasar yang senantiasa berlaku dalam dunia pendidikan. Guru bisa berperan lebih aktif dalam menghadirkan tatanan baru masyarakat yang lebih adil dan manusiawi melalui kerja pendidikan mereka. Pengeksplorasian gagasan pengembangan visi guru sebagai pelaku perubahan dan bagaimana guru bisa mengembangkan diri selaras dengan visi tersebut dalam konteks masyarakan Indonesia yang bhinneka.
            Pembahasan bab kedelapan, penulis membahas bahwa peran dan tugas guru berubah apabila masyarakat mengalami perubahan. Apabila dicerna lebih dalam pada pembahasan bab ke delapan ini, guru dapat diibaratkan sebagai robot yang bisa dikendalikan masyarakat. masyarakat bergeser, peran guru harus berubah. Kenyataan yang demikian tidaklah sesuai, peran guru hanya ada satu, mendidik nanak bangsa yang mempunyai jiwa intelektual yang tinggi dan daya emosional yang bagus. Walaupun masyarakat akan bergerak seperti apapun, peran guru tidak akan pernah berubah. Guru adalah pendidik.
Selanjutnya pada bab yang berjudul Guru Sebagai Pendidik Karakter ini dibahas bahwa dalam menjalankan fungsinya, guru bisa memiliki berbagai macam tugas. Dibahas pula mengenai konsep dasar tentang guru sebagai pendidik karakter, bagaimana guru bisa membentuk karakter siswa dalam sebuah dunia yang ditandai dengan jungkir balik tatanan nilai, serta prinsip dan sikap apa saja yang perlu diperhatikan oleh guru sebagai pembentuk karakter.pada bab kesembilan seolah-olah menjawab semua yang dijanjikan buku ini. Pada bab sebelumnya hanya dijelaskan secara samar namun pada bab ini penulis menjelaskan secara rinci mengenai apa itu pendidikan karakter yang sesungguhnya.
Pembahasan bab terakhir yang berjudul Dari Teori Menuju Aksi: Tujuh Strategi penulis menguraikan persoalan pokok yang sering muncul ketika guru membumikan visi dalam aksi adalah masalah integrasi. Ada persoalan mendasar yang seringkali dihadapi oleh para guru ketika berhadapan dengan idealisme yang dimiliki, yaitu mewujudkan visi dan misi dalam aksi. Tujuh strategi utama yang bisa dipakai sebagai langkah awal bagi pengembangan visi guru sebagai pelaku perubahan dan pendidik karakter. Strategi ini terdiri dari tiga level pembaharuan yaitu, pada level individual, fraksi pedagogis, dan komunitas.
Bab terakhir pada buku yang berjudul Pendidikan Karakter Di Zaman Keblinger ini berisi strategi yang dapat dijadikan bekal bagi guru untuk mendidik peserta didiknya. Penumbuhan karater pada peserta didik dapat dirintis seorang guru melalui strategi kolaboratif antara peserta didik dan pendidik. Pada bab terakhir ini bari terjawab semua apa itu pendidikan karakter dan bagaimana mendidik karakter.
Secara menyeluruh buku yang bertema pendidikan karakter ini menguraikan betapa pentingnya peranan seorang guru untuk mendidik para anak bangsa yang cerdas dan berakhlak mulia. Baik atau buruknya generasi penerus terletak pada tangan-tangan guru. Melihat betapa pentingnya peranan guru, guru harus menjadi sosok panutan yang tidak boleh salah.
Buku Pendidik Karakter di Zaman Keblinger ini memiliki keunggulan yaitu menjabarkan bagaimana semestinya menjadi bagian hakiki sebagai seorang guru garda terdepan dalam arus perubahan. Mengeksplorasi lebih mendalam bagaimana para guru dapat memahami hakikat perubahan itu sendiri. Pendidik yang mampu mengembangkan sebuah strategi untuk memulai, menerapkan dan melestarikan perubahan dalam dunia pendidikan dan masyarakat secara umum.
Selain itu, apabila dilihat dari segi sampul buku yang ditulis oleh Doni Koesoema ini mampu memberikan daya tarik tersendiri. Desain yang kreatif dituangkan dalam gambar yang unik maka akan membuat orang yang melihatnya merasa penasaran.
Namun, dibalik keunggulan masih ada sejumlah kekurangan. Sesuai dengan pepatah tak ada gading yang tak retak, tak ada buku yang sempurna. Buku yang berjudul Pendidik Karakter di Zaman Keblinger memiliki kekurangan seperti Penulis yang memakai gaya menulis secara menggurui ini, pada saat menulis lebih memilih kata yang menggunakan bahasa yang baku. Selain itu, penulis menggunakan istilah-islilah dari bahasa latin. Seharusnya pada saat penulis memakai istilah latin penulis memberi pengertian atau definisi dari istilah yang dipakai supaya pembaca mengerti dengan kata yang dimaksud.
Apabila dilihat dari sudut daftar pustaka buku ini terlalu banyak memakai referensi sehingga kesan yang muncul dari buku ini adalah rangkuman dari berbagai buku yang kemudian dijadikan sebuah buku.  Apalagi referensi yang diambil penulis mayoritas buku dari luar negeri. Bisa jadi buku yang dijadikan referensi itu tidak sesuai dengan kondisi pendidikan yang ada di Indonesia.
Buku yang sudah memiliki ISBN ini sebaiknya direvisi lagi karena masih ada bagian yang belum bisa dikatakan sempurna. Revisi perlu dilakukan supaya buku ini mampu memenuhi fungsinya sebagai pedoman para insan pendidik untuk mendidik peserta didik.
Buku yang bernuansa pendidikan ini cocok dibaca para guru, pengelola lembaga pendidikan, dan mereka yang peduli terhadap masa depan bangsa ini. Paparan buku ini memberikan peta dan agenda persoalan bersifat mendasar untuk lebih memperkuat peran dan visi guru dalam pembangunan peradaban. 
Menjadi  guru merupakan profesi yang sangat mulia. Guna menjadikan bangsa yang berkualitas guru diharapkan dapat membekali peserta didiknya sebagai penerus bangsa ini. Tentunnya dengan melahirkan individu-individu yang tidak hanya memiliki kemampuan intelektual saja, namun juga mampu menghargai kebenaran, keadilan, kesejahteraan, perdamainan dan sikap penuh tanggungjawab guna memasuki era masa depan yang sangat kompetitif dan tiada batas. Sebuah mimpi besar bangsa ini yang tentu tidak sekedar menjadi wacana belaka, namun kita semua harus mampu untuk mewujudkannya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar